Fatwa Ulama’

FATWA 10 Kibar Ulama’ Saudi Tentang PENGUASA yang

berhukum dengan selain SYARIAH ISLAM

Berikut ini adalah kumpulan fatwa yang kami nukil dari para masyayikh yang sangat dihormati dan dijadikan rujukan oleh kaum muslimin yang bermanhaj Salaf, lebih-lebih mereka yang mengaku sebagai SALAFY.

SYAIKHUL ISLAM MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Makna Thoghut menurut Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahhab adalah :

“Segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, diikuti dan ditaati dalam perkara‐perkara yang bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul‐Nya , sedang ia ridha dengan peribadatan tersebut”.
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab menjelaskan: “Thaghut itu sangat banyak, akan tetapi para pembesarnya ada lima, yaitu :

Setan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah.
Penguasa dzalim yang merubah hukum‐hukum Allah.
Orang‐orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
Sesuatu selain Allah yang mengaku mengetahui ilmu ghaib.
Sesuatu selain Allah yang diibadahi dan dia ridha dengan peribadatan tersebut.
FATWA SYAIKH AL ALLAMAH IMAM MUHAMMAD AL AMIN ASY SYANQITI –RAHIMAHULLAH- , SYAIKH NYA PARA MASYAYIKH DAN MUFTI KERAJAAN SAUDI :

وبهذه النصوص السماوية التي ذكرنا يظهر غاية الظهور أن الذين يتّبعون القوانين الوضعية التي شرعها الشيطان على لسان أوليائه مخالفة لما شرعه الله جل وعلا على ألسنة رسله [عليهم الصلاة والسلام] أنه لا يشك في كفرهم وشركهم إلاّ من طمس الله بصيرته وأعماه عن نور الوحي… فتحكيم هذا النظام في أنفس المجتمع وأموالهم وأعراضهم وأنسابهم وعقولهم وأديانهم، كفر بخالق السموات والأرض وتمرّد على نظام السماء الذي وضعه من خلق الخلائق كلها وهو أعلم بمصالحها سبحانه وتعالى (أضواء البيان جـ4 صـ 83- 84)

“Berdasar nash-nash yang diwahyukan Allah dari langit yg telah kami sebutkan di atas, telah nyata senyata-nyatanya bahwasanya orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang disyari’atkan oleh setan melalui mulut para pengikutnya yang bertentangan dengan syari’ah Allah Azza Wa Jalla yang diturunkan melalui lisan para Rasul-Nya –alaihimus sholaatu wat tasliem- BAHWA SESUNGGUHNYA TIDAK DIRAGUKAN LAGI TENTANG TELAH KAFIR DAN SYIRIK NYA ORANG-ORANG ITU, kecuali bagi orang yang mata hatinya telah tertutup dan buta dari cahaya wahyu Allah.

MAKA PENERAPAN UNDANG-UNDANG INI DALAM MENGATUR URUSAN JIWA, HARTA, KEHORMATAN KETURUNAN (NASAB), AKAL DAN AGAMA SUATU MASYARAKAT ADALAH KEKUFURAN TERHADAP SANG PENCIPTA LANGIT DAN BUMI dan pengkhianatan terhadap nizham (undang-undang/syari’ah) dari langit yang berasal dari Pencipta seluruh makhluk, dan Dia lah Yang Maha Mengetahui mashlahah bagi seluruh makhluk-Nya”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan juz 4 hal 83 – 84)

FATWA SYAIKH MUHAMMAD SHALIH IBN UTSAIMIN (KIBAR ULAMA SAUDI) TENTANG PENGUASA NEGARA-NEGARA DI DUNIA YANG TIDAK MENERAPKAN SYARI’AH ISLAM

من لم يحكم بما أنزل الله استخفافاً به أو احتقاراً له أو اعتقاداً أن غيره أصلح منه وأنفع للخلق فهو كافرٌ كفراً مخرجاً من الملة، ومن هؤلاء من يصنعون للناس تشريعات تخالف التشريعات الإسلامية، لتكون منهاجاً يسير عليه الناس، فإنهم لم يصنعوا تلك التشريعات المخالفة للشريعة إلاّ وهم يعتقدون أنها أصلح وأنفع للخلق، إذ من المعلوم بالضرورة العقلية والجبلة الفطرية أن الإنسان لا يعدل عن منهاج إلى منهاج يخالفه إلاّ وهو يعتقد فضل ما عدل إليه ونقص ما عدل عنه

“Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan syari’ah Allah, disebabkan meremehkan, menganggap enteng, atau berkeyakinan bahwa undang-undang lain lebih baik dibanding syari’at Islam maka orang itu TELAH KAFIR KELUAR DARI ISLAM. Dan di antara mereka itu adalah orang-orang yang menyusun dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam, undang-undangitu mereka buat agar menjadi aturan dan tata nilai dalam kehidupan manusia. Mereka itu tidak membuat menyusun undang-undang dan aturan hukum yang adalah mereka yang menyusun dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam kecuali karena mereka berkeyakinan bahwa undang-undang itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi manusia. Dengan demikian sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara pasti baik oleh logika maupun naluri akal manusia bahwa manakala seseorang berpaling dari sebuah manhaj lalu pindah ke manhaj yang lain kecuali karena dia meyakini bahwa manhaj barunya itu lebih baik dibanding manhaj yang lama” (Majmu’atul Fatwa wa Rosail Syaikh Utsaimin juz 2 hal 143)

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ

ولا إيمان لمن اعتقد أن أحكام الناس وآراءهم خير من حكم الله تعالى ورسوله أو تماثلها وتشابهها أو تَرَكَهَا وأحلّ محلّها الأحكام الوضعية والأنظمة البشرية وإن كان معتقداً أن أحكام الله خيرٌ وأكمل وأعدل

“Dan tidak ada lagi iman bagi orang yang berkeyakinan bahwa hukum-hukum buatan manusia dan pendapat mereka lebih baik dibanding hukum allah, atau menganggap sama, atau menyerupainya, atau meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya tu kemudian menggantinya dengan undang-undang buatan manusia walaupun ia meyakini bahwa hukum allah lebih baik dan lebih adil” (Risalah Ibn Baz “Wujub Tahkim Syari’a Allah wa nabdzi ma khaalafahu, Syaikh Bin Baz)

FATWA SYAIKH ABU BAKAR JABIR AL JAZAIRY (PENULIS KITAB MINHAJUL MUSLIM)
من مظاهر الشرك في الربوبيّة : الخنوع للحكّام غير المسلمين، والخضوع التامّ لهم، وطاعتهم بدون إكراه منهم لهم، حيث حكموهم بالباطل، وساسوهم بقانون الكفر والكافرين فأحلّوا لهم الحرام وحرّموا عليهم الحلال.

“Di antara tanda-tanda kemusyrikan yang nampak jelas adalah ketundukan kepada para pemimpin yang bukan dari golongan kaum muslimin serta kepatuhan yg mutlak kepada mereka dan ketaatan sepenuhnya kepada mereka tanpa adanya unsur paksaan di saat mana mereka menerapkan hukum yang bathil serta mengatur negara mereka dengan undang-undang kufur, mereka menghalalkan bagi rakyat mereka apa-apa yg diharamkan Allah dan mengharamkan yg dihalalkan Allah” (Minhajul Muslim)

FATWA SYAIKH SHALIH FAUZAN AL FAUZAN :

فمن احتكم إلى غير شرع الله من سائر الأنظمة والقوانين البشرية فقد اتخذ واضعي تلك القوانين والحاكمين بها شركاء لله في تشريعه قال تعالى

“Barangsiapa yang menetapkan hukum dengan selain syari’at Allah, yaitu dengan Undang-undang dan aturan manusia maka mereka telah menjadikan para pembuat hukum itu sebagai Ilah tandingan selain allah dalam tasyri’ (Wafaqat ma’a Asy Syaikh Al Albany 46)

FATWA SYAIKH AL ALLAMAH ABDULLAH AL JIBRIN :

وقال تعالى {ما فرّطنا في الكتاب من شيء}… فنقول: معلومٌ أن القوانين الوضعية التي فيها مخالفةٌ للشريعة أن اعتقادها والديانة بها خروجٌ عن الملة ونبذٌ للشريعة وحكمٌ بحكم الجاهلية، وقد قال الله تعالى {أَفَحُكْمَ الجاهليّةِ يبغون ومن أحسنُ من الله حُكماً لقومٍ يُوقنونَ} فحكم الله أحسنُ الأحكام وأولاها، وليس لأحدٍ تغييره وتبديله، فإذا جاء الإسلام بإيجاب عبادةٍ من العبادات فليس لأحدٍ أن يغيرها كائناً من كان، أميراً أو وزيراً أو ملكاً أو قائداً… فإذا حَكَمَ الله في أمرٍ من الأمور فليس لأحدٍ أن يتعدى حكم الله تعالى {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون} كما أخبر بذلك

Allah Ta’ala Berfirman : “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab” (QS Al An’am 38)

(Beliau menjelaskan ayat ini ) : “Maka kami katakan : “Sudah diketahui secara pasti bahwasanya undang-undang buatan manusia yang di dalamnya terdapat (aturan-aturan hukum) yang bertentangan dengan Syari’ah Allah, BAHWASANYA MEYAKININYA DAN MENJADIKANNYA ATURAN HIDUP ADALAH PERBUATAN YG MENGELUARKAN PELAKUNYA DARI ISLAM, SERTA MENGHANCURKAN SYARI’AH ALLAH SERTA BERHUKUM DENGAN HUKUM JAHILIYYAH”.

“Allah Ta’ala Berfirman :

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS Al Maidah 50)

Hukum Allah adalah sebaik-baik hukum serta yang paling utama dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk merubah atau menggantinya. Maka tatkala Islam datang dengan mewajibkan suatu ibadah, tidak ada seorang pun yang merubahnya, siapa pun dia. Baik dia seorang Amir (pemimpin), menteri, raja atau panglima. Manakla Allah telah menetapkan sebuah aturan hukum dalam suatu masalah di antara masalah-masalah kehidupan manusia, maka tidak ada satu pun yang boleh menentang aturan Allah itu : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [1].” (Ceramah Syaikh Jibrin tentang Hukum masuk dalam Parlemen side B)

FATWA SYAIKH ABDURRAHMAN AS SA’DY

قال في تفسير قوله تعالى {ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك} أن: (الرد إلى الكتاب والسنة شرط في الإيمان، فدل ذلك على أن من لم يرد إليهما مسائلَ النزاع فليس بمؤمن حقيقة، بل مؤمن بالطاغوت … فإن الإيمان يقتضي الإنقياد لشرع الله وتحكيمه، في كل أمر من الأمور، فمن زعم أنه مؤمن، واختار حكم الطاغوت على حكم الله فهو كاذب في ذلك

Beliau menafsirkan ayat :

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. (QS An Nisa’ 60)

“Bahwasanya mengembalikan semua urusan kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah syarat keimanan. Ini menunujukkan bahwa barangsiapa yg menolak untuk mengembalikan urusan yang dipertentangkan kepada Al Qur’an dan Sunnah ia tidak beriman secara sungguh-sungguh, BAHKAN IA TELAH BERIMAN KEPADA THOGHUT. Karena sesungguhnya iman menuntut adanya ketundukan kepada Syari’ah Allahdan bertahkim kepadanya dalam setiap urusan MAKA BARANGSIAPA YG MENGAKU MUKMIN, TETAPI IA MEMILIH HUKUM THOGHUT DIBANDING HUKUM ALLAH SUNGGUH IA TELAH DUSTA DALAM IMANNYA” (Tafsir As Sa’dy hal 148)

FATWA SYAIKH HAMUD AT TUWAIJRY

قال: «من أعظمها شراً [أي من أعظم المكفرات شراً] وأسوأها عاقبة ما ابتلي به كثيرون من اطراح الأحكام الشرعية والاعتياض عنها بحكم الطاغوت من القوانين والنظامات الإفرنجية أو الشبيهة بالإفرنجية المخالف كلٌ منها للشريعة المحمدية» ثمّ أورد بعض الآيات القرآنيّة وتابع: «وقد انحرف عن الدين بسبب هذه المشابهة فئاتٌ من الناس، فمستقل من الانحراف ومستكثر، وآل الأمر بكثير منهم إلى الردة والخروج من دين الإسلام بالكلية ولا حول ولا قوة إلاّ بالله العلي العظيم. والتحاكم إلى غير الشريعة المحمدية من الضلال البعيد والنفاق الأكبر… وما أكثرُ المعرضين عن أحكام الشريعة المحمدية من أهل زماننا… من الطواغيت الذين ينتسبون إلى الإسلام وهم عنه بمعزل

“Di antara yang paling besar kekufurannya, yang paling buruk azab yang akan diterima oleh banyak orang di akhirat kelak adalah menentang hukum-hukum Syari’ah Allah serta menggantinya dengan undang-undang Thaghut berupa undang-undang yang mereka adopsi dari Barat atau yang mirip dengannya yang bertentangan dengan syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah Muhhamad Shollallohu ‘alaihi wasallam.

Kemudian beliau mengutip beberapa ayat Al Qur’an lalu melanjutkan :

Disebabkan tindakan mengadopsi dan meniru undang-undang seperti inilah, banyak sekali kalangan umat Islam yang tersesat dari Dienullah, ada yang kesesatannya hanya sedikit namun ada pula yang banyak. Dan puncak dari kesesatan yang terjadi pada sebagian besar dari mereka adalah MURTAD dan keluar dari Islam secara keseluruhan, walaa hawla walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim.

“Menetapkan hukum dengan aturan yang bukan Syari’ah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam adalah salah satu di antara kesesatan yang amat jauh, dan nifaq Akbar (Murtad keluar dari Islam). Dan mayoritas dari mereka yang menentang Syari’ah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam di zaman ini adalah para penguasa Thaghut yang mengaku dirinya muslim serta mengatasnamakan tindakan mereka dengan Islam padahal sesungguhnya mereka telah membuang jauh-jauh Islam dari diri mereka”.

(Al Idhah wat Tabyiin Limaa Waqo’a Fiehi Al Aktsaruun Min Musyabahat Al Musyrikin Hal 28 – 29 : Syaikh Hamud At Tuwaijry)

FATWA AL ALLAMAH SYAIKH MUHAMMAD BIN IBRAHIM ALU SYAIKH (MUFTI KERAJAAN SAUDI SEBELUM SYAIKH BIN BAZ)

Berikut adalah Fatwa Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh (Mufti Saudi sebelum Syaikh Bin Baz). Beliau membagi beberapa kelompok orang-orang yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah, SEMUANYA KAFIR MURTAD

أن يجحد الحاكمُ بغير ما أنزل الله تعالى أحقيَّةَ حُكمِ الله تعالى وحكم رسوله

Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan ia juhud (menentang) akan kewajiban menerapkan syari’ah itu maka ia telah KAFIR MURTAD.

أن لا يجحد الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى كونَ حكم الله ورسوله حقاً، لكن اعتقد أن حكمَ غير الرسول أحسنُ من حكمه وأتم وأشمل

Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan ia tidak juhud (tidak menentang) akan kewajiban menerapkan syari’ah itu, TETAPI IA BERKEYAKINAN BAHWA HUKUM BUATAN MANUSIA LEBIH BAIK, LEBIH TEPAT, RELEVAN DAN LEBIH SEMPURNA DIBANDING SYARI’AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.

أن لا يعتقد كونَه أحسنَ من حكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد أنه مثله

Jika ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah lebih baik TETAPI MENYATAKAN BAHWA HUKUM BUATAN MANUSIA SAMA BAIKNYA DENGAN SYARI’AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.

أن لا يعتقد كونَ حُكمِ الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى مماثلاً لحكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد جواز الحُكم بما يُخالف حُكمَ الله تعالى ورسوله

Ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah sama atau lebih baik dibanding hukum buatan manusia, TETAPI IA BERKEYAKINAN BAHWA DIBOLEHKAN MENERAPKAN UNDANG-UNDANG SELAIN SYARI’AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.

وهو أعظمها وأشملها وأظهرها معاندة للشرع، ومكابرة لأحكامه، ومشاقة لله تعالى ولرسوله ومضاهاة بالمحاكم الشرعية، إعداداً وإمداداً وإرصاداً وتأصيلاً وتفريعاً وتشكيلاً وتنويعاً وحكماً وإلزاماً… فهذه المحاكم في كثير من أمصار الإسلام مهيّأة مكملة، مفتوحةُ الأبواب، والناسُ إليها أسرابٌ إثر أسراب، يحكم حكّامها بينهم بما يخالف حُكم السنة والكتاب، من أحكام ذلك القانون، وتلزمهم به وتقرّهم عليه، وتُحتِّمُهُ عليهم، فأيُّ كُفرٍ فوق هذا الكفر، وأي مناقضة للشهادة بأن محمداً رسولُ الله بعد هذه المناقضة…. فيجب على العقلاء أن يربأوا بنفوسهم عنه لما فيه من الاستعباد لهم، والتحكم فيهم بالأهواء والأغراض، والأغلاط، والأخطاء، فضلاً عن كونه كفراً بنص قوله تعالى: {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون}.

Ini adalah yang paling jelas-jelas kekafirannya, paling nyata penentangannya terhadap Syari’ah Allah, paling besar kesombongannya terhadap hukum Allah dan paling keras penentangan dan penolakannya terhadap lembaga-lembaga (mahkamah) hukum Syari’ah.

Semua itu dilakukan dengan terecana, sistematis didukung dana yang besar, diterapkan dengan pengawasan penuh, dengan penanaman dan indoktrinasi kepada rakyatnya, yang pada akhirnya akan membuat umat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak, lalu menanamkan keragu-raguan dalam diri terhadap Syari’ah Allah dan mereka juga mewajibkan umat Islam untuk mematuhi hukum buatan mereka itu serta menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggarnya.

Berbagai bentuk lembaga hukum dan perundang-undangan ini dalam kurun waktu yang amat panjang telah dipersiapkan melalui perencanaan yang matang dan dengan pintu terbuka siap menangani berbagai masalah hukum umat Islam. Umat Islam pun berbondong-bondong mendatangi lembaga-lembaga ini, sedangkan para penegak hukumnya menetapkan hukum terhadap permasalahan mereka itu dengan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul Shollallohu ‘alaihi wasallam dengan merujuk kepada hukum-hukum yang berasal dari aturan dan undang-undang yang mereka buat itu seraya mewajibkan rakyatnya untuk melaksanakan hukum-hukum itu, mematuhi keputusan mereka itu dan tidak memberi celah sedikit pun untuk memilih hukum selain undang-undang mereka itu.

KEKAFIRAN MANALAGI YANG LEBIH BESAR DIBANDINGKAN KEKUFURAN INI, PENENTANGAN TERHADAP PERSAKSIAN “WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLAH” MANALAGI YANG LEBIH BESAR YANG DIBANDINGKAN PENENTANGAN INI ?

Sehingga bagi mereka yang menggunakan akalnya semestinya mereka menolak aturan hukum itu dengan penuh kesadaran dan ketundukan hati mengingat di dalam Undang-undang itu terdapat penghambaan kepada para penguasa pembuat undang-undang itu, serta hanya memperturutkan hawa nafsu, kepentingan duniawi dan kerancuan-kerancuan berpikir dan bertindak. Penolakan ini harus mereka lakukan atau mereka jatuh pada kekufuran sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (artinya) :

“Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS Al Maidah 44)

ما يحكم به كثيرٌ من رؤساء العشائر والقبائل من البوادي ونحوهم، من حكايات آبائهم وأجدادهم وعاداتهم التي يسمونها “سلومهم” يتوارثون ذلك منهم، ويحكمون به ويحضون على التحاكم إليه عند النزاع، بقاءً على أحكام الجاهلية، وإعراضاً ورغبةً عن حكم الله تعالى ورسوله r فلا حول ولا قوة إلاّ بالله تعالى

Aturan hukum yang biasa diterapkan oleh sebagian besar kepala suku dan kabilah pada masyakat dan suku-suku pedalaman atau yang semisal dengan itu. Yang berupa hukum peninggalan nenek moyang mereka dan adat istiadat yang diterapkan secara turun temurun, yang dalam istilah Arab biasa disebut : “Tanyakan kepada nenek moyang”. Mereka mewariska hukum adat ini kepada anak cucu mereka sekaligus mewajibkan mereka untuk mematuhi hukum adat itu serta menjadikannya sebagai rjukan dan pedoman saat terjadi perselisihan di antara mereka. Ini semua mereka lakukan sebagai upaya melestarikan adat istiadan dan aturan aturan jahiliyyah dengan disertai ketidaksukaan dan keengganan untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi wasallam. Maka sungguh tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali hanya dengan bersandar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

(Tahkiem Al Qawaaniin karangan Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh hal 14 – 20 Terbitan Daar Al Muslim)

CATATAN

Semua Syaikh yang kami nukil fatwanya di atas adalah para masyayikh yang sangat dihormati dan dijadikan rujukan oleh kaum muslimin yang bermanhaj Salaf, lebih-lebih mereka yang mengaku sebagai SALAFY.

Fakta telah kami buka lebar-lebar, yang semuanya kami sertakan sumber nukilan kami, baik kaset, video maupun kitab karangan mereka. Jika anda masih belum yakin, silahkan anda buka kitab mereka.

Pertanyaannya adalah :

“Mungkinkah dari sekian banyak fatwa ini, tidak ada satu pun orang yang terkena fatwa dari para ulama ini dengan alasan : “MEREKA MASIH SHOLAT ?”

Apakah masih kurang jelas fatwa Syaikh Hamud At Tuwaijry berikut ini ?

“Menetapkan hukum dengan aturan yang bukan Syari’ah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam adalah salah satu di antara kesesatan yang amat jauh, Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam di zaman ini adalah para penguasa Thaghut yang mengaku dirinya muslim serta mengatasnamakan tindakan mereka dengan Islam padahal sesungguhnya mereka telah membuang jauh-jauh Islam dari diri mereka”. ?

Apalah artinya Sholat bagi mereka yang telah MURTAD sebagaimana fatwa Syaikh Shalih Fauzan ini :

“Barangsiapa yang menetapkan hukum dengan selain syari’at Allah, yaitu dengan Undang-undang dan aturan buatan manusia maka mereka telah menjadikan para pembuat hukum itu sebagai Ilah tandingan selain Allah dalam tasyri’ (Wafaqat ma’a Asy Syaikh Al Albany 46)

Atau Fatwa Syaikh Utsaimin ini ;

“Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan syari’ah Allah, disebabkan meremehkan, menganggap enteng, atau berkeyakinan bahwa undang-undang lain lebih baik dibanding syari’at Islam maka orang itu TELAH KAFIR KELUAR DARI ISLAM”.

Atau masih kah kurang jelas Fatwa Al Allamah Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh di atas yang lebih terang benderang dibanding matahari di siang hari ?

Wallohu A’lam Bish Showab

(Arrahmah.com)

FATWA TENTANG HARAMNYA HORMAT KEPADA BENDERA

Fatwa Lajnah Daimah

“Tidak diperbolehkan menghormati bendera. Wajib hukumnya mengadukan permasalahan dan memutuskan permasalahan berdasarkan syariat Islam. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk memberikan penghormatan kepada pemimpin dengan penghormatan ala orang kafir karena dua alasan:
(a) terdapat larangan menyerupai orang kafir
(b) penghormatan dengan cara tersebut termasuk sikap berlebihan dalam menghormatan pemimpin”.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Qaud.

Fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhåhullåh

Tidaklah diragukan bahwa ini adalah perbuatan maksiat sedangkan Nabi mengatakan,
‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada sang pencipta’
(HR Ahmad).
Jika anda memungkinkan untuk menghindari acara tersebut dan tidak ikut menghadirinya maka lakukanlah”.

(Fatwa ini terdapat di situs resmi Syaikh Shalih al Fauzan )

FATWA TENTANG HARAMNYA MENGUCAPKAN SELAMAT

NATAL

Mengucapkan “Happy Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah HARAM hukumnya menurut kesepakatan para ulama (ijma’).

Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata,”Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan,’Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya.  Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan.  Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan itu lebih amat dimurkai dibanding memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya.  Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut.

Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”

Mengenai kenapa Ibn al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridhai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridhai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya, karena Allah Ta’ala tidak meridhai hal itu,sebagaimana dalam firman-Nya,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.”[Az-Zumar:7]

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.”[Al- Ma‘idah :3] Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.

Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita.  Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridhai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka, akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk.  Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(85(

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [ Ali ‘Imran/3 :85] Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM, karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya.  Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”[ Hadits Riwayat Abu Daud).

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidhâ‘ ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm.”Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan menghinakan kaum lemah (iman).”

Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena basa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab- sebab lainnya, karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.

Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan diennya, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada Muslimin terhadap musuh-musuh mereka, sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

[Sumber: Majmû’ Fatâwa Fadhîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn, Jilid.III,h.44-46,no.403]

Siapa Yang Layak Disebut Ulil Amri?

Oleh: Ust. Anung al-Hamat Lc, M.Pd.I

Allah swt telah menciptakan manusia dan seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini dan tidak ada satu pun makhluk yang menanggung rezekinya melainkan hanya Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Hud ayat 6:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”

Jika Allah sebagai yang menghidupkan, yang mematikan dan Pemberi rezeki maka sudah seharusnya diakui bahwa Allah sebagai Pengatur alam semesta. Mengatur alam ini sesuai dengan kehendak-Nya. Akan tetapi sangat ironis banyak kalangan yang hanya mengakui Allah sebagai Dzat yang mempunyai hak cipta dan menolak hak lainnya yaitu hak memerintah dan mengatur. Padahal dalam Surat Al-A’raf ayat 54 Allah berfirman:

ألا له الخلق والأمـــــــــــــر

“Ketahuilah bahwa kepunyaan Allah-lah hak untuk menciptakan dan hak memerintah.”

Perintah Allah ini tentunya tertuang dalam syariat-Nya baik yang bersumber dari Al Qur’an maupun hadits nabi saw. Akan pentingnya syariat, Allah berfirman dalam Surat An Nisa ayat 65:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً

”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Ali bin Naif as Sahhud menyatakan, “Ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya telah menjelaskan adanya keterkaitan erat antara akidah dan syariat dan keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan. Undang-undang yang tidak sesuai dengan diturunkan Allah adalah satu bentuk kemusyrikan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.” [1]

Kemudian muncul sebagian kalangan yang terkontaminasi paham Murji’ah. Di mana akan meremehkan urusan syariat Allah. Bagi mereka kumandang azan, shalat dan beberapa syi’ar Islam yang ada sudah cukup. Sehingga kalangan seperti ini begitu mudah memvonis kalangan yang ingin menegakan syariat dengan label Khawarij, Kilab an Nar (anjing-anjing neraka), pemberontak dan label-label lainnya yang negatif.

Tidak berhukum dengan hukum Allah dianggap sama dengan dosa dan kemaksiatan lain yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Mereka menyamakannya dengan dosa seperti minum khamr, berzina dan mencuri yang tidak mengakibatkan pelakunya kafir keluar dari Islam. Selain itu ada dalil yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas yang senantiasa mereka dendangkan yaitu kufrun duna kufrin, kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.

Dalam mengomentari pernyataan Ibnu Abbas, salah seorang ulama hadits Mesir Syaikh Ahmad Syakir menyatakan:
Atsar-atsar Ibnu Abbas dan selainnya yang sering dipermainkan oleh para penyesat yang mengaku sebagai ulama dan golongan lain yang berani terhadap agama, mereka jadikan sebagai alasan atau justifikasi untuk membolehkan undang-undang konvensionalyang dibuat sendiri oleh manusia dan diberlakukan di negeri-negeri muslim.[2]

Inilah yang dirasakan oleh Bakr Abu Zaid, sehingga beliau menyatakan:
”Akibat lainnya, meremehkan urusan pemberlakuan syariat Allah untuk mengadili manusia, bahkan mereka membantu orang yang berhukum kepada thaghut,[3]  padahal Allah telah memerintahkan untuk mengkufurinya. Di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in,[4] Ibn al Qayyim berkata, ”Bid’ah yang paling besar adalah menanggalkan Kitab Allah (Al-Qur’an ) dan sunnah Rasul-Nya, dan membuat hukum baru yang menyelisihi keduanya.”[5]

Dalam bukunya yang lain beliau menyatakan:
”Di antara pengaruh yang paling buruk dari paham ini (Murji’ah) pada masa kita adalah Syirku at Tasyri’ (syirik dalam masalah undang-undang) yaitu dengan membolehkan keluar dari syariat Allah Rabb bumi dan langit dan menjadikan undang-undang konvensional (sebagai gantinya). Perbuatan ini dalam perspektif Murji’ah bukan suatu bentuk kekafiran. Padahal sudah jelas bahwa meninggalkan hukum Allah bertentangan dengan syariat dan satu bentuk kecongkakan terhadap hukum-Nya serta sebagai satu bentuk perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya.”[6]

Islam merupakan agama yang terdiri dari perkataan dan perbuatan, akidah dan syariah. Sehingga tidak cukup seseorang dikatakan beriman hanya dengan keyakinan hingga ia membuktikannya dengan amal. Islam merupakan risalah yang dibawa oleh nabi saw yang terdiri dari beragam aturan baik itu berbentuk perintah maupun larangan.

Permasalahan hukum Allah sangat erat juga kaitannya dengan terminologi ulil amri. Akan sulit rasanya menemukan buku yang secara spesifik membahas seputar hukum Allah dan terlebih khusus ulil amri. Meskipun permasalahan ini bisa ditemukan di sela-sela penjelasan ulama klasik baik dalam buku-buku fikih fikih, hadits maupun tafsir.

Penjelasan seputar ulil amri tentunya ’kurang sedap’ kalau tidak berbicara tentang urgensi hukum Allah. Penulis merasa yakin bahwa setiap kita sepakat untuk mengatakan betapa pentingnya hukum Allah swt.[7]

Kedudukan Syariat dan dampak meninggalkannya
Berkaitan dengan hukum Allah atau syariat Allah, selain dengan dalil-dalil yang sudah dipaparkan dalam pengantar, maka di sini penulis hanya ingin mempertegas bahwa cinta  dan keinginan untuk menerapkan syariat merupakan salah satu konsekuensi keimanan kepada Allah. Pengakuan akan Allah sebagai Pencipta alam, Pengatur dan Pemelihara mempunyai konsekuensi bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan diibadahi kecuali Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat Al A’raf ayat 54:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.  Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.

Dalam ayat tersebut setelah menerangkan bahwa Allah adalah yang telah menciptakan segala sesuatu maka dengan tegas dan jelas Allah menyatakan, Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Hak memerintah dan melarang hanyalah milik Allah. Perintah dan larangan itu ada dalam syariat Allah swt.

Dalam mengomentari ayat tersebut Syaikh Shalah as Shawi[8] menyatakan:
Kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada hukum kecuali hukum milik Allah. Tidak ada yang haram kecuali yang diharamkan Allah dan tidak ada yang halal kecuali yang dihalalkan Allah. Tidak ada yang wajib kecuali yang diwajibkan Allah dan tidak ada agama kecuali apa yang disyariatkan Allah. Ketika Allah dinyatakan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah hak cipta maka demikian tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah hak memerintah dan mengatur.[9]

Penerapan syariat merupakan salah satu solusi terbaik dalam rangka membangun masyarakat dan negara yang makmur dan aman. Akan tetapi sebaliknya jika syariat dijauhkan dalam kehidupan akan mendatangkan laknat dan murka Allah sebagaimana dinyatakan Ibn al Qayyim, ’jika Al-Qur’an  dinonaktifkan  dalam kehidupan maka yang terjadi adalah hati manusia menjadi liar, kehidupan rumah tangga menjadi gersang dan Allah akan menurunkan laknatnya’.[10]

Menolak dan tidak mau berhukum dengan hukum Allah (syariat) merupakan satu bentuk kekufuran yang  bisa menggugurkan keimanan seseorang dan merupakan satu bentuk bid’ah yang paling besar. Dalam mengomentari permasalahan ini Syaikh Bakr

Abu Zaid menyatakan, “Akibat lainnya, meremehkan urusan pemberlakuan syariat Allah untuk mengadili manusia, bahkan mereka membantu orang yang berhukum kepada thaghut, padahal Allah telah memerintahkan untuk mengkufurinya. Di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in, Ibn al Qayyim berkata, ”Bid’ah yang paling besar adalah menanggalkan Kitab Allah (Al-Qur’an ) dan sunnah Rasul-Nya, dan membuat hukum baru yang menyelisihi keduanya.”[11]

Atau pernyataan beliau yang lainnya menyebutkan, “Di antara pengaruh yang paling buruk dari paham ini (Murji’ah) pada masa kita adalah Syirku al Tasyri’ (syirik dalam masalah undang-undang) yaitu dengan membolehkan keluar dari syariat Allah Rabb bumi dan langit dan menjadikan undang-undang konvensional (sebagai gantinya). Perbuatan ini dalam perspektif Murji’ah bukan suatu bentuk kekafiran. Padahal sudah jelas bahwa meninggalkan hukum Allah bertentangan dengan syariat dan satu bentuk kecongkakan terhadap hukum-Nya serta sebagai satu bentuk perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya.”[12]

Apa yang dinyatakan Bakr Abu Zaid dan Ibnu Qayyim adalah selaras dengan pernyataan Imam Ahmad yang dikenal sebagai sosok imam Ahlus Sunnah. Di mana  beliau menyebutkan beberapa ciri kalangan yang menyimpang dalam beragama (ahli bid’ah) di antaranya; tidak mau berhukum dengan Al-Qur’an, sepakat untuk senantiasa meninggalkan Al-Qur’an, senantiasa memperselisihkan dan memperdebatkan isi Al-Qur’an  dan membuang Al-Qur’an  jauh-jauh dalam kehidupan.[13]

Munculnya beragam musibah dan bencana bisa jadi salah satu faktornya adalah tidak diterapkannya syariat Islam. Bahkan munculnya kalangan yang terlalu berlebihan dalam beragama (ekstrim) adalah karena tidak diterapkannya syariat Islam. Salah seorang tokoh Mesir Syaikh Syafwat Syawadifi (w 2008 M)[14] ketika mengomentari peristiwa penembakan beberapa tourist di daerah Luxor Mesir[15] beliau menyebutkan beberapa faktor di antaranya adalah karena tidak diterapkannya syariat Islam. Beliau menyatakan:

Faktor hakiki munculnya terorisme adalah (salah satunya) tidak diterapkannya syariat Islam. Sepakat kaum muslimin bahwa menerapkan syariat adalah wajib baik bagi pemerintah maupun bagi rakyatnya. Dan harus diingat bahwa tidak diterapkannya syariat merupakan faktor yang paling kuat dalam menumbuhkembangkan sikap-sikap ekstrem di antaranya gagasan takfir yang kebablasan.[16]

Demikian juga dengan pesan Bakr Abu Zaid yang ditujukan kepada segenap lapisan umat baik pemimpin maupun rakyat yang mana beliau menyatakan:

Sesuai dengan pembahasan dalam buku ini, berikut ini saya sampaikan peringatan kepada seluruh umat terhadap hak-hak pemimpin dan rakyat di setiap negeri Islam. Karena adanya sikap meremehkan dalam memenuhi hak-hak ini akan menimbulkan pengaruh buruk yang tidak diridhai dan penyakit-penyakit pemikiran yang akan muncul pada kehidupan individu dan masyarakat. Maka saya katakan, “Barang siapa yang memegang urusan kaum muslimin (penguasa), maka kewajbannya yang paling besar adalah mengatur rakyat berdasarkan Al Kitab dan sunnah, menyebarkan ajaran tauhid  yang bersumber dari keduanya, memberantas kesyirikan dan vaganisme dan menghukumi permasalahan yang trejadi di antara manusia dengan keduanya demi menegakkan keadilan di antara mereka. Karena tidak ada yang lebih bijaksana, lebih adil dan cocok bagi manusia daripada syariat Rabb mereka. Dalam syariat Allah itulah terkandung keadilan, rahmat dan obat bagi penyakit hati.[17]

Syariat Islam mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tauhid  ’ibadah atau tauhid  uluhiyah,[18] tauhid  rububiyah, tauhid  asma dan shifat, iman, Islam, dua kalimat syahadat, dan berpaling darinya bisa mengakibatkan kekufuran yang bisa mengeluarkannya dari Islam.[19]

Abdul Karim Nashir al ’Aql menyatakan bahwa ”kalangan yang tidak mau berhukum dengan syariat Allah adalah kalangan yang mengikuti hawa nafsu. Setiap orang yang keluar dari apa yang telah digariskan Al-Qur’an  dan sunnah maka orang tersebut disebut hawa nafsu”.[20]

Bahkan lebih jauh beliau menyatakan, “Tidak berhukum dengan syariat Allah juga disebut pengikut hawa nafsu sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat Shad ayat 26: ”Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Dan dalam Surat An Nisa ayat 135 Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.[21]

Enggan menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum merupakan salah satu pembatal keislaman.  Syaikh Shalah al Shawi menyatakan, ”Barang siapa yang mengganti syariat atau tidak mau berhukum dengan hukum Allah maka ia keluar dari Islam (murtad) demikian menurut kesepakatan ulama Islam”.[22]
Jika diringkas di antara alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Shalah as Sawi berkaitan kufurnya orang yang tidak mau menerapkan hukum Allah adalah sebagai berikut:

Pertama, Menolak penerapan hukum Allah ada unsur menandingi Allah dalam masalah tauhid  rububiyah. Padahal seseorang sudah menyatakan, aku rela Allah sebagai Rabbku.[23]  Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya bahwa konsekuensi dari tauhid rububiyah adalah tauhid uluhiyah dalam aspek kataatan dan kepatuhan.

Kedua, Tidak komitmen terhadap syariat Islam merupakan satu bentuk kekufuran terhadap tauhid  uluhiyah.[24] Yang dimaksud dengan ilah adalah ma’luh yaitu yang berhak diibadahi. Dan konsekuensi pengakuan bahwa Allah adalah pencipta maka hendaknya seseorang hanya beribadah dan taat kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya termasuk mempersekutukan-Nya dalam masalah hukum.

Dalam menafsirkan firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 121, ”dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. Ibn Katsir berkata, dikarenakan kalian berpaling dari perintah dan syariat-Nya dan kalian lebih mendahulukan pendapat lainnya maka ini merupakan kemusyrikan.

Ketiga, Tidak komitmen terhadap penerapan syariat Islam bisa membatalkan iman mujmal.[25]
Keempat, Tidak komitmen terhadap syariat Allah secara tidak langsung telah menghalalkan bolehnya tidak berhukum dengan hukum Allah. Para ulama menyatakan bahwa ada dua bentuk penafsiran menghalalkan; seseorang mengetahui akan haramnya sesuatu kemudian menghalalkannya dan seseorang telah mengetahui keharamannya akan tetapi enggan untuk komitmen.

Para ulama sepakat bahwa tidak berhukum dengan syariat Allah merupakan satu bentuk kekufuran yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kemudian beliau menuturkan pernyataan para ulama seputar ijma’nya mereka dalam permasalahan ini di antaranya; Al Nasafi (w. 331 H), Abu Bakar al Jashshas (w. 370 H), Ibn Taimiyah (w. 728 H), Ibn al Qayyim (w. 751 H), Ibn Katsir (w. 774 H), Muhammad bin Ibrahiim Alu al Syaikh,[26] Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Hamid al Fiqqi (w. 1378 H),[27]  Syaikh Ahmad Syakir (w. 1376 H), Syaikh Musthafa Shabri (w. 1373 H),[28]  Muhammad al Khidhr Husain (w. 1377 H),[29] Syaikh Muhammad al Amin al Syanqithi (w. 1393 H), Abdul Qadir Audah (w. 1954 M), Abu al A’la al Maududi (w. 1399 H), ’Ali Juraisyah (w. 1432 H), Abdurrahman Abdul Khaliq dan Yusuf Qardhawi.[30]

Penulis lain bernama Abdurrahman bin Shalih al Mahmud selain menyebutkan nama-nama ulama tadi, menyebutkan beberapa nama lain di antaranya; Ibn Hazm (w. 456 H), Syatibi (w. 790 H),  Abdul al Latif bin Abdurrahman (w. 1293 H), Hamd bin Atiq (w. 1301 H), Syaukani (w. 1255 H), Mahmud Syakir (w. 1418 H),[31] Rasyid Ridha (w. 1354 H), Abdul al Razzaq ’Afifi (w. 1415 H) dan Muhammad bin Shalih al Utsaimin.[32]

Klasifikasi penguasa yang tidak berhukum dengan Syariat
Dalam agama Islam di antara kewajiban pemimpin[33] yang paling besar adalah menerapkan syariat. Dikatakan sebagai pemimpin yang wajib ditaati dan tidak boleh melakukan perlawanan adalah dikarenakan dia menegakan agama dan menerapkan syariat. Adapun jika pemimpin yang tidak menegakan agama dan syariat maka tidak layak disebut pemimpin atau ulil amri yang wajib ditaati.

Dalam permasalahan ini sesuai dengan pernyataan salah seorang ulama Saudi Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid yang menyatakan, “Adapun jika (para penguasa) menonaktifkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya (tidak boleh memberontaknya). Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.

Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan.
Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri pent-) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.[34]

Kondisi para pemimpin bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
Pertama, pemimpin yang menerapkan syariat Islam dan tidak keluar dari syariat tersebut dalam memutuskan setiap perkara. Pemimpin ini menjadikan sumber hukumnya adalah hukum Allah dan rasul-Nya maka pemimpin seperti ini adalah pemimpin muslim yang wajib ditaati dan dipatuhi.

Kedua, pemimpin yang menerapkan syariat Islam dan tidak keluar dari syariat tersebut dalam memutuskan setiap perkara kemudian dalam suatu permasalahan tertentu ia memutuskan perkara dengan ijtihadnya dan ternyata ijtihadnya keliru maka pemimpin seperti ini disebut pemimpin muslim mujtahid namun ijtihadnya keliru. Maka ia masih tetap wajib ditaati dan kekeliruannya diganjar dengan satu kebaikan.

Ketiga, pemimpin yang menerapkan syariat Islam dan konsisten dengan hukum Allah hanya saja dalam kasus tertentu ia memutuskan perkara yang menyelisihi syariat dikarenakan godaan syetan atau dorongan jiwa yang buruk (hawa nafsu). Pemimpin seperti ini merupakan pemimpin yang dzalim akan tetapi tetap harus ditaati dan dipatuhi serta tidak boleh  memberontak kepadanya.
Ketika para ulama menjelaskan seorang penguasa tidak kafir dikarenakan tidak berhukum kepada hukum Allah maka maksud mereka adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a)    Undang-undang Negara yang diberlakukan kepada rakyatnya adalah syariat Islam. Jadi pemimpin tersebut hanya melakukan kekeliruan dalam kasus tertentu saja.
b)    Ketika melakukan kekeliruan dalam kasus tersebut dia tetap meyakini akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan tindakannya tersebut adalah sebuah kekeliruan dan kemaksiatan.
c)    Tidak meyakini bahwa ia diberikan keleluasaan dalam memilih hukum antara hukum Allah atau hukum selain Allah atau dibolehkan tidak berhukum dengan syariat Allah sama sekali dan dengan catatan ia tetap meyakini bahwa hukum yang benar adalah hukum Allah.
d)    Tidak meremehkan hukum Allah
e)    Ketika melakukan kekeliruan ia meyakini bahwa perbuatan tersebut merupakan dosa yang diharamkan.

Keempat, pada dasarnya penguasa ini tidak mau berhukum dengan syariat Islam kemudian dia membuat dan menerapkan hukum selain hukum Allah dengan mengklaim bahwa hukum tersebut datang dari Allah maka pemimpin seperti ini merupakan pemimpin yang kafir. Dia kafir karena mengklaim hukum itu datang dari Allah dan kafir dikarenakan mengubah hukum Allah.

Kelima, pada dasarnya penguasa ini tidak mau berhukum dengan syariat Islam kemudian dia membuat dan menerapkan hukum selain hukum Allah tanpa mengklaim bahwa hukum tersebut datang dari Allah. Maka pemimpin seperti ini juga merupakan pemimpin yang kafir dikarenakan ia mencari hukum kepada selain Al-Qur’an  dan sunnah, adanya keyakinan tidak wajibnya berhukum kepada syariat Allah dan adanya pengakuan hukum selain hukum Allah serta menerapkan dan melaksanakannya dalam bernegara.[35]

Dengan demikian tidak menerapkan syariat Islam bisa mengakibatkan kekafiran yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam dan bisa juga tidak mengakibatkan keluar dari Islam. Hal ini sesuai dengan kondisi dan hukum masing-masing penguasa sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
Ulama lain yang merupakan dosen di Riyadh Prof. Dr. Abdurrahman bin Shalih al Mahmud menyatakan bahwa ada beberapa kondisi yang mengakibatkan keluarnya seseorang dari agama dikarenakan tidak berhukum dengan hukum Allah, di antaranya:

Pertama, karena faktor akidah.[36]
Maksudnya adalah meninggalkan hukum Allah dengan dasar adanya keyakinan bolehnya tidak berhukum dengan hukum Allah atau karena adanya unsur penolakan dan pembangkangan dalam hati terhadap hukum Allah. Yang termasuk dalam kondisi seperti ini adalah:
1)    Seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, menolak legalitas hukum Allah dan rasul-Nya.
2)    Seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, tidak menolak legalitas hukum Allah dan rasul-Nya akan tetapi meyakini bahwa selain hukum rasul ada yang lebih baik, sempurna dan komprehensif.
3)    Seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, tidak meyakini hukum yang lainnya lebih baik akan tetapi meyakini bahwa hukum yang lain setara dengan hukum Allah dan rasul-Nya.
4)    Seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, tidak meyakini hukum yang lainnya lebih baik atau setara dengan hukum Allah akan tetapi meyakini bolehnya berhukum kepada hukum lain yang menyelisihi hukum Allah dan rasul-Nya.
5)    Seseorang yang meyakini bahwa undang-undang Islam sudah tidak selaras dengan kondisi zaman.
6)    Seseorang yang meyakini bahwa syariat Islam merupakan salah satu faktor kemunduran umat.
7)    Seseorang yang mempunyai paham sekuler, agama hanya mengatur urusan hamba dengan Tuhannya saja.[37]

Kedua, karena faktor perbuatan.
Yaitu seseorang yang membuat hukum yang menyelisihi syariat Islam. Perbuatan seperti ini akan menjadikan pelakunya keluar dari agama karena sikapnya tersebut mengandung dua hal; ada unsur menolak syariat Allah dan merampas hak prerogatif Allah di antaranya hak membuat hukum dan aturan.

Ketiga, taat dan patuhnya kalangan yang menaati orang yang mengubah syariat Allah sementara mereka mengetahui bahwa mereka (kalangan yang mengubah syariat) menyelisihi syariat Allah.
Hal ini bisa berlaku bagi rakyat yang menaati pemimpinnya yang mengubah syariat. Sikap rakyat seperti ini bisa mengakibatkan mereka keluar dari agama jika terpenuhi dua syarat;
a)    Rakyat mengetahui bahwa para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah tersebut mengubah syariat kemudian mereka (rakyat) mengikuti dan menaati para pemimpinnya di atas landasan hukum yang telah diubah.
b)    Adanya bukti dan indikasi kerelaan rakyat yaitu dengan partisipasi mereka dalam penghalalan dan pengharaman yang bertentangan dengan syariat.[38]

Adapun pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah yang tidak mengakibatkan pelakunya keluar dari agama adalah dikarenakan:
a)    Kepemimpinan berdasarkan Syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an  dan sunnah.
b)    Tidak berhukum dengan hukum Allah adalah bersifat kasus dikarenakan dorongan syahwat dan hawa nafsu dengan tetap menjadikan syariat sebagai hukum yang berlaku dalam bernegara.[39]

Pendapat Ulama Seputar Hakikat Ulil Amri
Berangkat dari firman Allah dalam Surat An Nisa ayat 59, di mana Allah berfirman:

ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منــــــــكم

”Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul serta ulil amri di antara kalian….”
Berikut ini adalah poin-poin dari pendapat ulama seputar ulil amri;
1. Imam al Qurthubi:
a)    Para pemimpin: Jumhur, Abu Hurairah, Ibn Abbas
b)    Ahli Al Qur’an & Ilmu (Ulama); Jabir, Dhahak, Malik
c)    Sahabat; Mujahid
d)    Abu Bakr dan Umar: Ikrimah
e)    Orang berakal: Ibn Kaisan
f)    Ali dan para imam sesudahnya
g)    Pemimpin; sumber urusan dan pemutus perkara
h)    Ulama: yang mampu memahami dan menyimpulkan hukum dalam Al Qur’an dan sunnah
2. Ibnu Katsir:
a) Ibnu Abbas: ahli fikih dan Ahli agama
b) Mujahid, Atha, al Hasan dll: Ulama. Ibnu Katsir berkomentar, adapun secara zahir ayat adalah berlaku untuk umum baik pemimpin maupun ulama.
Dan hal yang tidak boleh dilewatkan adalah komentar Ibnu Katsir dalam potongan ayat selanjutnya;

فإن تنازعتم فى شئ  فردوه إلى الله والرسول

Mujahid dan ulama salaf lainnya menyatakan bahwa maksudnya adalah kembalikan kepada Al Kitab dan Sunnah Rasul-Nya. Ini merupakan perintah dari Allah azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan manusia baik dalam masalah prinsip-prinsip agama  maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan itu dikembalikan kepada al Kitab dan as Sunnah sebagaimana dalam firman-Nya;

وما اختلفتم فيه من شئ  فحكمه إلى الله

“Apapun yang telah diputuskan dan disaksikan oleh Al Qur’an dan as Sunnah maka pasti benar dan tidak ada setelah datangnya kebenaran melainkan kesesatan. Oleh sebab itu Allah berfirman; jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”.

Maksudnya adalah kembalikan perselisihan dan kejahilan kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Berhukumlah kepada keduanya dari apa yang diperselisihkan di antara kalian. Jika benar-benar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak berhukum dan tidak mengembalikan kepada al Kitab dan as Sunnah dalam hal yang diperselisihkan maka dengan hal itu ia bukan seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.[40]

Dalam rangka memperdalam ayat ini pembaca bisa menyimak komentar Syaikh Ahmad Syakir;
Dalalah ayat-ayat ini sudah jelas, lafadznya tegas dan tidak membutuhkan lagi penjelasan yang panjang serta tidak memungkinkan untuk dipermainkan. Di mana Allah memerintahkan kita agar menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya dan ulil amri. Maksudnya adalah dari kalangan Muslim. Dan memerintahkan kita untuk mengembalikan seluruh yang kita perselisihkan kepada hukum Allah dalam kitab-Nya dan hukum Rasul-Nya dalam Sunnahnya.[41]

3. Imam at Thabari: Mereka para pemimpin muslim, jika pemimpin seorang mujtahid maka dia diikuti, dan jika bukan seorang mujtahid maka yang diikuti adalah ulama.

4. Ibnu Taimiyah: Ulil Amri ada dua: pemimpin dan ulama. Jika mereka baik maka manusia akan baik. Oleh sebab itu harus hati-hati dalam berkata dan berbuat sebagai satu bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta sebagai realisasi dari mengikuti Al Qur’an.

5. Imam Nawawi: Pemimpin dan ulama.

6. Ar Razi: Pemimpin dan ulama. Akan tetapi dalam ayat tersebut adalah ulama. Perbuatan pemimpin tergantung fatwa ulama. Ulama merupakan pemimpinnya pemimpin (amir al umara)

7. Syaukani: Setiap pemimpin, penguasa, qadhi & setiap yang punya wilayah syar’iyah bukan wilayah thaghutiyah.
Ada kalangan yang menyatakan bahwa setiap yang memiliki wilayah disebut ulil amri meskipun tidak menerapkan hukum Allah. Jika terminologi ini yang digunakan maka belanda yang menjajah bumi Indonesia kurang lebih tiga ratus lima puluh  (350) tahun adalah ulil amri. Belum lagi Portugal dan Jepang yang juga sama-sama pernah menjajah bumi Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam kurun waktu tersebut merekalah yang memiliki dan menguasai bumi Indonesia.

Dalam menjelaskan hakikat ulil amri, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid menyatakan:
“Adapun jika (para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya.

Ulil amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.

Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat -dalam hal diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan- untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan.

Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan as Salaf as Shalih tidak mengenal istilah pemimpin(ulil amri) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan adalah penegakan agama. Maka yang namanya ulil amri adalah yang menegakan agama. Kemudian setelah itu bisa disebut ulil amri yang baik atau yang buruk.

Dalam mendefinisikan ulil amri, Ali bin Abi Thalib berkata: “Manusia harus mempunyai pemimpin baik yang baik maupun yang buruk. Ditanyakan kepadanya; Kami telah tahu yang dimaksud pemimpin yang baik. Lantas bagaimana dengan maskud pemimpin yang buruk (zalim) itu? Dijawab; jalanan menjadi aman, ditegakan hudud, musuh diperangi dan fa’i dibagikan”.(Ibn Taimiyah, Minhaj as Sunnah, 1/146).”[42]

Itulah definisi minimal ulil amri yang buruk secara syar’i. Atau dalam ungkapan lain seburuk-buruk ulil amri adalah yang memenuhi hal-hal yang telah disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib dan tidak boleh disebut ulil amri yang tidak menegakan hukum Allah swt.

Dengan mengutip perkataan Qadhi ’Iyadh, Imam Nawawi berkata:
”Jika muncul kekafiran (pada diri penguasa) atau mengubah syariat atau bid’ah maka dia telah keluar dari hukum kepemimpinan dan gugur darinya hak untuk ditaati serta kaum muslimin wajib bangkit untuk mencopot dan menggantinya dengan pemimpin yang adil, hal ini jika memungkinkan bagi mereka. Jika tidak ada yang mampu kecuali hanya sekelompok kecil maka mereka wajib mencopot pemimpin kafir tersebut dan tidak wajib melakukannya kepada pemimpin yang bid’ah kecuali jika mereka memprediksi mampu melakukannya. Jika ternyata tidak mampu maka hukumnya tidak wajib akan tetapi hendaknya seorang muslim meninggalkan negeri tersebut menuju negeri lain (yang menerapkan syariat).”[43]

Penutup
Dari pemaparan tadi bisa diambil kesimpulan bahwa tidak setiap yang menjadi penguasa di suatu negeri langsung didaulat menjadi ulil amri. Kecuali ulil amri dari segi bahasa bukan dari sisi syar’i. Bahkan ada satu keunikan yang sebenarnya kontradiktif dalam memahami terminologi ulil amri. Dulu ketika Husni Mubarak didemo, ada 3 kalangan yang melarang demo dengan alasan Husni Mubarak adalah ulil amri. Tiga kalangan tersebut adalah Mufti Mesir; Prof. Dr. Ahmad Thayyib, Paus Tawadrus  dan rekan-rekan dari kalangan Salafi.[44] Bahkan sosok yang bernama Mahmud Luthfi Amir yang merupakan da’i salafi dan alumni Madinah Univ menyatakan bahwa Husni Mubarak adalah amirul mukminin.

Uniknya, ketika Mursi yang didemo dan digulingkan tidak ada satupun dari mereka yang bereaksi dan justru sebaliknya mereka mendukung gerakan untuk mengguingkan Mursi. Tidak ada satu pun dari mereka yang berfatwa bahwa yang mendemo Mursi adalah Khawarij dan anjing-anjing neraka. Kemudian ketika Mursi sudah digulingkan baru terdengar lagi lantunan ayat dan hadits yang seolah-olah wajib mendengar dan menaati ulil amri.

Dengan demikian definisi ulil amri oleh sebagian kalangan diterapkan untuk mendukung pemimpin yang sekuler dan pluralis. Namun ketika pemimpin itu adalah yang berpihak kepada Islam dan syariat Islam, justru tidak dikatakan ulil amri. Hal ini terjadi karena berangkat dari kekeliruan dalam memahami hakikat ulil amri.


[1] Ali bin Naif as Sahhûd, Al Mufashshal Fi Syarh Hadits Man Baddala Dienahu Faqtuluh, 3/193..

[2] Syaikh Ahmad Muhammad  Syâkir, Hukmu al Jâhiliyah, Cairo: Maktabah al Sunnah, 1992, hlm. 39. Buku ini merupakan salah satu buku terbaik dalam menyingkap hakikat hukum jahiliyah dan beliau menyatakan bahwa seluruh hukum yang diterapkan yang tidak bersumber dari Al Qur’ân dan sunnah merupakan undang-undang Yasiq kontemporer.

[3] Dalam mendefinisikan hakikat thaghût Ibn al Qayyim menyatakan, setiap perbuatan hamba yang melampaui batasannya baik dari sisi yang disembah, diikuti atau yang dita’ati. Maka definisi thaghût adalah setiap kalangan yang berhukum bukan kepada hukum Allah dan rasul-Nya atau kalangan yang menyembah selain Allah atau mengikuti selain petunjuk Allah atau menta’ati sesuatu yang tidak mereka ketahui dan mereka menganggap amalan itu merupakan satu bentuk ketaaan kepada Allah.” lihat Ibn Qayyim al Jauziyah,I’lâmul Muwaqqi’în ’An Rabbil ’Âlamîn, Beirut: Dâr al Jail, 1973, hlm. 1/50.

Sementara Muhammad  bin Abdul Wahhâb menyebutkan induk thaghût ada lima (5), di antaranya:

Pertama, Syetan yang menyeru untuk beribadah bukan kepada Allah.

Kedua, penguasa yang merubah hukum-hukum Allah.

Ketiga, yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

Keempat, yang mengklaim mengetahui yang gaib.

Kelima, orang yang disembah sementara dia rela disembah. Lihat kitabMajmû’atu al Tauhîd, Beirut: Dâr al Fikr, 1998, hlm. 10-11.

[4] Sebagian kalangan membacanya dengan I’lâmul Muwaqqi’în dan masing-masing bacaan tersebut adalah benar.

[5] Bakr Abû  Zaid, Nasehat Salaf Untuk Salafi, hlm. 166-167.

[6] Bakr Abû Zaid, Ar Rudud, Riyadh: Dâr al ‘Ashimah, 1414H,  hlm. 203

[[7] Permasalahan seperti ini bisa dilhat buku yang ditulis penulis dengan judulMewaspadai Penyimpangan Neo Murjiah.

[8] Beliau merupakan salah satu dari pendiri dari America Open University dan Sekjend Asosiasi Fuqaha Amerika.  Salah seorang tokoh Mesir bernama Fauzi Sa’id menyatakan bahwa Syaikh Shalah as Shawi termasuk generasi umat ini yang genius.

[9] Shalâh al Shâwî, Fa’lam Annahu Lâ Ilâha Illallâh, Cairo: Dâr  al I’lâm ad Daulî, 1994, hlm. 55 dan 59.

[10] ‘Âid al Qarnî, Maktabah Syâmilah, Muhâdharât Mufarraghah.

[11]] Bakr Abû  Zaid, Nasehat Salaf Untuk Salafi, hlm. 166-167.

[12] Bakr Abû Zaid, Al Rudûd , Riyadh: Dâr  al ‘Ashimah, 1414 H,  hlm. 203.

[13] ‘Âid al Qarnî, Maktabah Syâmilah, Muhâdharât Mufarraghah.

[14] Wakil Ketua Jamâ’ah Anshâr al Sunnah al Muhammadiyah Mesir dan Pemimpin Redaksi Majalah al Tauhîd.

[15]] September tahun 1997.

[16] Syafwat Syawâdifi, Mashâbih Adhâ’at Lanâ al Tharîq, Cairo: Dâr   al Taqwâ, 2001, hlm. 281.

[[17] Bakr Abû Zaid, Nasehat Salaf  Untuk Salafi, hlm. 208-209.

[18] Yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah kita meyakini bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi dan berlepas diri dari sesembahan selain-Nya. Lihat Shalâh al Shâwî, Mâ Lâ Yasa’ul Muslim Jahluh, hlm. 34.

Dalam ungkapan lainnya yang lebih luas disebutkan, “Mengesakan Allah dalam ibadah, berlepas diri dari setiap sesembahan selain-Nya, maka tidak ada yang diibadahi kecuali Allah, tidak bertawakkal kecuali kepada Allah, tidak berhukum kecuali kepada hukum Allah, tidak menerima pedoman kecuali yang bersumber dari-Nya, tidak beramal kecuali hanya untuk-Nya, tidak mencintai dan membenci kecuali karena-Nya”. Lihat Shalâh al Shâwî, Fa’lam Annahu Lâ Ilâha Illallâh, hlm. 24.

[19] Untuk lebih rincinya lihat Abdurrahmân bin Shâlih al Mahmûd, Al Hukmu Bighairi Mâ Anzalallâh Ahwâluhu Wa Ahkâmuhu, Riyadh: Dâr al Thayyibah, 1420H, hlm.  21-50. Dan  Shalâh al Shâwî, Tahkîm al Syarî’ah Wa Da’âwâ al Ilmâniyyah, Riyadh: Dâr  al Thayyibah, hlm. 15-52.

Ada beberapa buku lain yang bisa dijadikan rujukan dalam permasalahan pentingnya menanamkan rasa cinta kepada syari’at Islam  di antaranya: Syaikh Ahmad Syâkir, ’Umdah Tafsîr, Kalimatul Haqq, Al Hâkimiyah, Al Syar’u Wal Lughah, Muhammad  Quthb, Haula Tathbîq al Syarî’ah, Shalâh al Shâwî,Tahkîm al Syarî’ah Wa Shillatuhu Bi Ashlid Dien, Al Muhâwarah Musâjalah Fikriyah Haula Qadhiyyah Tathbîq al Syarî’ah, Umar al Asyqar, Al Syarî’ah al Islâmiyyah Lâ al Qawânîn al Wadh’iyyah, Abdurrahmân Abdul Khâliq, Al Haddul Fâshil, Wujub Tathbîq al Hudûd al Syar’iyyah, Al S’adi, Tahdzîr Ahlil Imân ’An al Hukmi Bigahairi Mâ Anzalarrahmân, Hamd bin Nâshir Ma’mar, Al Fawâkih al ’Adzdzâb Fî al Raddi ’Alâ Man Lam Yuhakkim al Sunnah Wa al Kitâb, Ahmad bin Nâshir Ghunaim, Al Burhân Wa al Dalîl ’Alâ Kufri ManHakama Bighairi al Tanzîl, Ahmad ’Aththâr, Al Syari’ah Lâ al Qanûn, Inhisâr Tathbîq al Syaî’ah Fî Aqthâr al ’Arûbah al Islâmiyyah, Manna’ Khalil Qaththân,Wujûb Tathbîq as Syarî’ah al Islâmiyyah, Shâlih  al Sadlân, Asbâb al Hukmi Bighairi Mâ Anzalallâh Wa Natâijuhu, Muhammad Surûr Zainal ’Âbidîn, AlHukmu Bighairi Mâ Anzalallâh Wa Ahlul Ghuluw, Muhammad  al Amîn Musthafâ al Syanqithî, Wujûb Tathbîq al Syarî’ah al Islâmiyyah, Jamâl al Bannâ, Al Hukmu Bil Qur’ân Wa Qadhiyah Tathbîq al Syarî’ah, Musthafa Farghali, Fi Wajhil ’amârah ’Alâ Tathbîq al Syarî’ah al Islâmiyyah, Nâshir al ’Aql, Al Talâzum Bainal Aqîdah Wa al Syarî’ah, Abdul Azîz al Abdullathîf,Juhud al Syaikh Muhammad Ibrahîm Fî Mas’alatil Hâkimiyyah, ’Ali Juraisyah,Al Qur’ân Fauqa al Dustûr, Abdurrahmân al Sudais, Al Hâkimiyyah Fî Tafsîr Adhwâ al Bayân, Taufîq Syâwî, Siyâdah al Syarî’ah al Islâmiyyah Fî Mishr,Abdul Azîz Musthafâ, Al Hukmu Wa al Tahâkum Fî Khithâb al Wahyi, Ali Husnain al Zahrâ, Hattâ Lâ Tadzilla al Syarî’ah Nashshan Syakliyan, Adian Husaini bersama team, Islamic Worldview. Terlebih makalah yang ditulis oleh Adian Husaini dengan judul Problematika Penerapan Syari’at Islam di Indonesia dan Nirwan Syafrin dengan judul Kritik Terhadap Liberalisasi Syari’at Islam..

[20] Abdul Karîm Nâshir al ’Aql, Dirâsât Fil Ahwâ Wal Firaq Wal Bida’, Riyadh: Dâr Kunûz Isybiliya, 2003, hlm. 26.

[21]] Abdul Karîm Nâshir al ’Aql, Dirâsât Fil Ahwâ Wal Firaq Wal Bida’, hlm. 28.

[22] Shalâh al Shâwî, Fa’lam Annahu Lâ Ilâha Illallâh, hlm. 59.

[23] Hal ini sebagaimana hadits yang bersumber dari sahabat Abû  Sa’id al Khudhri bahwa Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang  berkata aku ridha Allah sebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama dan Muhammad  sebagai nabi maka wajib baginya masuk surga”. (HR. Ibn Hibban).

[24] Shalâh al Shâwî, Fa’lam Annahu Lâ Ilâha Illallâh, hlm. 59.

[25] Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah ashlul Îmân  ataumuthlaqul Îmân .  Iman pada tingkat ini wajib ada dalam diri seseorang karena jika tingkat iman ini tidak ada berarti ia telah keluar dari Islam. Îmân mujmal ini meliputi ucapan lisan seperti mengucapkan  syahadatian, membenarkan risalah nabi saw; perbuatan hati, seperti rela dengan hukum Allah dan rasul-Nya, dan juga perbuatan badan seperti shalat.

[26] Mantan mufti Saudi sebelum Syaikh Abdul Azîz bin Bâz, hal ini bisa dilihat dalam bukunya Tahkîm al Qawânîn al Wadh’iyyah. Buku ini sudah banyak yang mensyarah di antaranya Safar bin Abdurrahmân al Hawâlî dengan judulSilsilatul Hukmi Bighairi Mâ Anzalallâh Syarh Risâlah Tahkîm al Qawânîn al Wadh’iyyah dan diterbitkan oleh penerbit Maktab al Thayyib di Cairo.

[27] Pendiri Jamâ’ah Anshâr al Sunnah al Muhammadiyah Mesir.

[28]Seorang yang mendapat gelar Syaikhul Islam pada masa Daulah ‘Utsmâniyah.

[29] Mantan Grand Syaikh Al Azhar.

[30] Shalâh al Shâwi, Fa’lam Annahu Lâ Ilâha Illallâh, hlm. 59-75, Tahkîm al Syari’ah Wa Da’âwa al Ilmâniyyah, Riyadh: Dâr  al Thayyibah. 1412H, hlm. 53-68, Tahkîm al Syari’ah Wa Shillatuhu Bi Ashli al Dîn, Cairo: Dâr al I’lâm al Daulî, 1994, hlm. 31.

[31] Adik kandung dari Syaikh Ahmad Syâkir, beliau seorang ulama dan sastrawan terkemuka.

[32] Abdurrahmân bin Shâlih al Mahmûd, Al Hukmu Bighairi Mâ Anzalallâh Ahwâluhu Wa Ahkâmuhu,  Riyadh: Dar Thayyibah, 1420H, hlm. 175-204.

[33] Atau lebih populer disebut dengan ulil amri.

[34] Abdullâh bin Abdul Hamîd, Al Wajîz Fî Aqîdati al Salaf al Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jamâ’ah, Riyadh: Wazârah al Syu’ûn al Islâmiyyah Wa al Da’wah Wa al Irsyâd, 1423, hlm. 169.

Buku ini diberi pengantar oleh: al Syaikh al ‘Allâmah Abdullâh bin Abdul Rahmân al Jibrîn, yang mulia Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Âlû al Syaikh, al Syaikh Nâshir bin Abdul Karîm al ‘Aql, al Syaikh Su’ûd bin Ibrâhîm as Syuraim dan al Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainû.

[35] Abdul Azîz bin Hâmid, Adhwâ ‘Alâ Ruknin Min al Tauhîd, Riyadh: Maktabah al Shalâh, 1991, hlm. 45-60.

[36] Dikenal dengan istilah kufur karena  juhûd dan istihlâl.

[37] Safar bin Abdurrahmân Hawâlî, Syarh Tahkîm al Qawânîn, Cairo: Maktab at Thayyib, 1998, hlm. 31-65, Abdurrahmân bin Shâlih al Mahmûd, Al Hukmu Bighairi Mâ Anzalallâh Ahwâluhu Wa Ahkâmuhu,  hlm. 1 65-170.

[38] Lebih rincinya lihat Abdurrahmân bin Shâlih al Mahmûd, Al Hukmu Bighairi Mâ Anzalallâh Ahwâluhu Wa Ahkâmuhu,  hlm. 159-210.

[39] Abdurrahmân bin Shâlih al Mahmûd, Al Hukmu Bighairi Mâ Anzalallâh Ahwâluhu Wa Ahkâmuhu,  hlm. 213.

[40] Ibn Katsir, Tafsir al Qur’an al Adzim, Amman; Maktabah al Mannar, 1999, hlm. 2/677-678

[41] Ahmad Syakir, Hukum Jahiliyah, Cairo: Maktabah as Sunnah, 1992,  hlm. 31-32

[42] Abdullah bin Abdul Hamid , Al Wajiz Fi Aqidati as Salaf as Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,  Riyad: Wazârah as Syu’ûn al Islâmiyah Wal Auqâf Wa ad Da’wah Wal Irsyâd, 1422 H, hlm. 132. Buku ini diberi pengantar oleh Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Âlu as Syaikh.

[43] Abû Zakariyâ Yahyâ bin Syaraf an Nawawî, Al Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al Hajjâj, Beirut: Dâr Ihyâ at Turats al ’Arabî, hlm.  12/229

[44] Di Mesir kelompok Salafi sangat banyak. Di antara kalangan Salafi yang masih mau berinteraksi dengan kalangan lain; Jama’ah Anshar as Sunnah al Muhammadiyah, Jama’ah as Salafiyah al Iskandariyah, ada juga jama’ah salafiyah yang mengikut kepada para tokoh; seperti jama’ahnya Syaikh Muh. Hassan, Syaikh Abu Ishaq al Huwaini, Syaikh Muhammad bin Abdul Maqshud dan lain-lain. Adapun jama’ah salafiyah yang coraknya ada di Indonesia justru di Mesir merupakan jama’ah yang minoritas.

____________

Sumber: Kiblat.net

* Dr. (Cand). Anung Al Hamat, Lc., M.Pd.I

Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, dengan proposal Disertasi “Pendidikan Jihad  Menurut Imam Bukhari (Tela’ah Atas Kitab Al Jihad Dalam Shahih Bukhari)” yang sudah disidangkan dan disetujui oleh tim penguji; Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS., Prof. Dr. Ahmad Tafsir, M.A., H. Adian Husaini, M.Si., Ph.D., Dr. H. Endin Mujahidin, M.Si. dan Dr. H. Ulil Amri Syafri, Lc., M.A.

(ANNAJAH.NET)

8 comments on “Fatwa Ulama’

  1. kalo undang-undang kenegaraan yang bertentangan saja tidak boleh tentunya apalagi dalam hal ibadah. kalo hal itu tidak pernah diajarkan Rosululullah dan diperintahkan ALLAH, lalu bagaimana halnya dengan hukum sholat sunnah berjamaah. Hal ini berkaitan dengan perkataan Umar bin Khatab bahwa sholat tarawih adalah bid’ah yang baik

  2. 1)Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan: نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) ketika beliau mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shoat tarawih yg saat itu berkelompok2 yg stiap kelompok mmpunyai imam sendiri-sendiri,bid’ah yang dimaksud oleh umar di sini adalah bid’ah dlm arti bahasa yaitu sesuatu yg baru bukan bid’ah dlm artian syari’i karna sholat tarowih pernah dilaksanakan oleh Rosulullah secara berjamaah bersama para shahabat
    sebagaimana yg diriwayatkan oleh Ummul Mu’min Aisyah beliau berkata:

    “Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau n bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

    Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
    “Bid’ah itu ada dua macam:
    Pertama: adakalanya bid’ah itu secara syar’I sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
    “Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

    Kedua: adakalanya bid’ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan ‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni:
    نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
    “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari) (Tafsir Ibnu Katsir: surah Al Baqarah: 117)

    2) Adapun orang2 yg membolehkan untuk membuat aturan/undang2/hukum yg bukan dari syari’at islam dengan mengqiaskan atau menyamakannya dengan perkataan dari umar: نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) maka itu merupakan kekeliruan yg amat besar dan jauh dari kebenaran,karena yg berhak membuat undang2/hukum di muka bumi ini adalah Alloh azza wa jala melalui wahyu yg di turunkan kepada Rosululloh solallohu’alai wassalam dan umat islam tidak di perbolehkan membuat aturan/undang yg tidak sesuai dengan hukumnya Alloh(baca; syariat islam) karenaitu merupakan bentuk konsekuensi dari syahadat kita,apabila kita berpaling dari hukumnya alloh dan lebih suka berhukum dengan hukum buatan manusia (baca: hukum Thoghut),maka syahadat yg kita baca sebagai tanda kita memeluk islam bisa BATAL,sebagaimana yg dijelaskan oleh para Ulama dlm bab pembatal keislaman salah satunya adl:

    Barang siapa meyakini bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti orang yang lebih mengutamakan hukum para thagut atas hukum beliau, maka mereka kafir.sbgmana firman Alloh:

    “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(Qs; Almaidah:44)

    “Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
    Oleh karena itu
    WALLOHU A’LAM BISSHOWAB

  3. Terus bagaimana dengan raja Najasyi yang masuk Islam kemudian dia tidak mampu menerapkan hukum Islam di negaranya padahal dia adalah seorang raja tetapi rasulullah tetap mensholatinya yang menunjukkan hal ini raja Najasyi tidak kafir padahla dia tidak berhukum pada hukum Islam

    • Perlu di ketahui bahwa Najasyi itu telah meninggal dunia sebelum sempurnanya tasyrii’, jadi beliau secara pasti meninggal sebelum turunnya firman Allah subhaanahu wa ta’aala:

      اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

      “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam itu sebagai agamamu,” (Al Maidah: 3).

      Sebab ayat ini diturunkan pada hajji wadaa’, sedangkan Najasyi meninggal dunia jauh sebelum penaklukan kota Mekkah sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dan yang lainnya.

      Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah saat itu bagi dia adalah menghukumi, mengikuti dan mengamalkan ajaran agama yang telah sampai kepadanya, karena nadzarah (peringatan) dalam masalah seperti ini harus adanya buluughul Qur’an (sampainya wahyu Al Qur’an kepadanya), Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

      وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ

      Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya itu aku memberikan peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang Al Qur’an sampai (kepadanya),” (Al An’am: 19).

      Dan semua yang disebutkan oleh orang-orang yang menyebutkan kisahnya menunjukan bahwa dia itu menghukumi dengan apa yang sampai kepadanya dari apa yang Allah turunkan saat itu,diantaranya:

      1. Yang menjadi kewajiban dia(Raja Najasyi) saat itu berupa mengikuti apa yang diturunkan Allah adalah: (Merealisasikan tauhid, iman kepada kenabian Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan iman bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah)…dan dia sudah melakukannya.

      2. Memberikan pertolongannya terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, agamanya, dan para pengikutnya. Najasyi telah menolong kaum muhajiriin yang datang kepadanya, dia memberi mereka tempat serta memberikan jaminan keamanan dan perlindungan, dia tidak mengecewakan mereka dan tidak menyerahkan mereka kepada orang-orang Quraisy, dia juga tidak membiarkan orang-orang nasrani Habasyah mengganggu mereka, padahal para muhajirin itu telah menampakkan keyakinan mereka yang benar tentang Isa ‘alaihissalam. Bahkan terdapat dalam risalah lain yang dia kirimkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang dituturkan oleh Umar Al Asyqar dalam kutaibnya itu hal 73) bahwa dia mengirimkan anaknya yang disertai enam puluh laki-laki dari penduduk Habasyah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini dilakukan sebagai bentuk dukungan, ittibaa, serta bantuan.

      3 Dan begitu juga bai’atnya terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan untuk hijrah, dalam suratnya itu Najasyi menyebutkan:( Sesungguhnya dia telah membai’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan anaknya yang bernama Ja’far dan teman-temannya telah membai’at pula serta masuk Islam di tangannya lillaahi rabbil’aalamiin, dan di dalam suratnya itu dia menegaskan bahwa ia mengirim kepada Nabi anaknya Arihaa Ibnu Ashhum Ibnu Abjur, dan ucapannya: Bila engkau berkehendak saya datang kepadamu tentu saya melakukannya wahai Rasulullah, karena sesungguhnya saya bersaksi bahwa apa yang engkau katakan adalah benar). Maka mungkin saja dia meninggal dunia setelah itu langsung, atau mungkin saja Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menginginkan hal tersebut saat itu…..semua ini tidak begitu jelas dan tidak ditegaskan dalam kisah itu, sehingga tidak halal memastikan sesuatupun darinya dan tidak halal berdalil dengannya, apalagi kalau dijadikan senjata untuk melawan tauhid dan ashluddien.

      Jadi salah besar jika dikatakan bahwa raja najasyi tidak melaksanakan syariat alloh dlm memimpin negrinya,justru sebaliknya ia melaksanakan aturan islam dan dia menghukumi dengan apa yang Allah turunkan yang telah sampai kepadanya saat itu dan sesuai dengan tahapan turunya wahyu pada waktu itu

      Adapun para “penguasa islam” yang tidak mau/menolak menerapkan hukum islam padahal sudah sampai hujjah kepadanya namun justru mereka lebih memilih menerapkan hukum demokrasi bahkan menganggap bahwa demokrasi itu lebih baik dari syariat islam maka telah rusak dan batalah syahadatnya,dengan batal dan rusak syahadatnya itu maka sholat mereka,puasa mereka ,haji mereka dan ibadah ibadah yang lain yang mereka kerjakan tidak akan bernilai sama sekali di hapan Alloh karena pada hakikatnya mereka telah keluar (kafir) dari dinnul islam.Wallohua’lam bisshowab

  4. Kenapa antum tidak sampaikan juga bagaimana tafsir Ibnu Katsir ayat :

    “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(Qs; Almaidah:44)

    Ibnu Abbas mengatakan yang dimaksudkan kafir dalam ayat ini adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam, Jika orang itu melakukannya itu suatu kekufuran tapi bukan seperti orang kafir kepada Allah dan hari akhir. Atsar Ibnu Abbas ini dishahihkan oleh Imam Al-Hakim dan Ibnu Katsir.

    Dan seharusnya antum menukil fatwa2 ulama diatas secara lengkap dan jangan hanya sepotong-sepotong karena itu akan menimbulkan kerancuan2 dan pemahaman yang keliru untuk umat ini. ingat yang antum tulis ini suatu masalah yang besar jangan gegabah

    • Ahlu Sunnah snantiasa Tegas dalam masalah Aqidah karena ini merupakan Pokok dalam ajaran Islam,tidak seperti Murji’ah yg senantiasa meremehkan dlm hal aqidah bahkan sesuatu yg jelas2 nampak kekafirannya di depan mata pun mereka tidak berani mengkafirkannya,baca kembali Kitab Nawaqidul Islam karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullaah niscaya anda akan faham dan tidak mengatakan gegabah terhadap orang2 yg mengkafirkan penguasa2 yg menolak Syariat islam dan lebih memilih demokrasi.wallohu a’lam bishowab

      • Saya orang bodoh, ingin bertanya, apakah berarti ulama-ulama asli Indonesia, para alim, para kyai asli Indonesia, telah salah menerima bentuk pemerintahan yang ada. Karena yang anda tuliskan itu fatwa-fatwa ulama yang menurut saya tidak tahu kondisi Indonesia.

  5. Ahlus sunnah juga orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Afwan akhi bukan maksud ana untuk berdebat tapi ana sarankan antum juga baca syarah Nawaqidul Islam oleh Syaikh Sholeh Fauzan Hafidzahullah dan kitab Fitnatu At-takfir wa Hukmu Ma Anzalallah yang merupakan kumpulan penjelasan Syaikh Albani tentang masalah takfir yang telah di komentari oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin.., Allahulmusta’an. Barakallahufiik

Tinggalkan Balasan ke jhonny adrian Batalkan balasan